Senin, 16 Desember 2013

transportasi sistem di jakarta

Kemacetan dan kesemrawutan semakin mengancam kota Jakarta. Rencana-rencana untuk mengatasi masalah transportasi tidak disertai dengan langkah menekan laju konsumsi kendaraan bermotor dan pembenahan sistem transportasi umum yang murah, massal, dan layak. Kiranya tak kurang keluhan, umpatan, sampai pembahasan tentang masalah kemacetan disertai dengan wacana solusinya. Kota ini, setiap hari, menampung 12 juta orang (pada waktu siang) dengan 7,1 juta unit kendaraan bermotor di jalan-jalan. Setiap hari orang-orang harus terjebak macet dan harus menyesuaikan diri terhadap keadaan darurat ini. Selain kerugian-kerugian materil, keselamatan pemakai jalan juga menjadi taruhan.


Masalah transportasi berhubungan dengan masalah ekonomi yang lebih kompleks. Sejak cengkraman neoliberalisme menguat, sebelas tahun terakhir, semakin banyak rakyat di pedesaan yang tidak lagi mempunyai sumber penghidupan memadai, sehingga memilih berpindah ke kota. Urbanisasi menjadi fenomena yang berlangsung relatif lebih cepat dibandingkan beberapa masa sebelumnya. Tidak hanya di Jakarta, tapi juga di sejumlah kota lain. Padahal perpindahan tersebut seringkali tidak membuat tingkat kesejahteraan rakyat meningkat. Perlu disebutkan bahwa dalam kehidupan perkotaan ini terkandung kegiatan “ekonomi industri” bercorak kapitalisme, yang menuntut ratusan ribu sampai jutaan orang bergerak dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.



Dalam mengantisipasi masalah keruwetan transportasi massal di perkotaan, sedikit kota yang mulai berbenah. Kota Solo adalah salah satu di antara yang sedikit itu. Pengenalan sistem transportasi baru oleh pemerintah kota Solo, yang dipimpin Walikota Joko Widodo (akrab disapa: Jokowid), memang layak diapresiasi, sekaligus dikritisi, sebelum ditiru oleh kota-kota lain. “Move people not car” menjadi slogannya. Batik Solo Trans (BST), railbus, dan bus tingkat wisata, kemudian lampu lalulintas yang menggunakan teknologi area traffic control system (ATCS), dalam batasan tertentu menguntungkan rakyat kota Solo. Setidaknya potensi kemacetan seperti kota Jakarta dapat diantisipasi. Namun yang perlu diingat adalah perkara investasi oleh perusahaan-perusahaan swasta pada sektor transportasi. Dengan logika komersialisasi sektor transportasi maka ongkos yang dituntut pun menjadi lebih tinggi, sehingga rakyat miskin sulit menjangkaunya. Sistem transportasi, di mana pun, harus memudahkan mobilitas sosial masyarakat, dengan biaya yang semurah-murahnya. Sejajar dengan itu, mobilitas sosial masyarakat harus berbuah akumulasi yang tidak dihisap oleh kapitalisme, atau harus kembali disosialisasikan menjadi kekayaan milik masyarakat. Kebijakan-kebijakan neoliberalisme, yang sarat komersialisasi, yang merupakan bentuk terkini penghisapan kapitalisme, tentu tidak dapat menyediakan keadaan tersebut.



1 komentar: